1. Dangkalnya sumber
daya manusia
Seperti negara tetangga lainnya di Asia Tenggara
lainnya, Indonesia masih kekurangan tenaga profesional handal.
Berdasarkan International
Labour Organization (ILO), Indonesia
semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja seiring dengan cepatnya
laju globalisasi, perkembangan teknologi mutakhir, dan pola kerja dinamis. ILO
juga mengklaim masalah tersebut diperparah dengan adanya emigrasi tenaga
profesional, tenaga kerja yang semakin menua, dan kurangnya fasilitas untuk
penyediaan pelatihan.
Bank Dunia mengungkap buruknya sistem pendidikan sebagai
penyebab utamanya, dan berakibat kurangnya kemampuan berpikir dan perilaku
karyawan yang dinilai cukup penting bagi perusahaan. Hal ini diperburuk dengan
fakta bahwa banyak karyawan muda di Indonesia yang tampaknya belum diberikan
bekal cukup untuk pekerjaannya atau untuk kehidupan profesional secara umum.
Untuk menghindari masalah ini, banyak entrepreneur memilih untuk meng-outsource
kemampuan teknis yang mereka butuhkan dari negara maju.
2. Rumitnya birokrasi
AFP mengungkapkan Indonesia merupakan salah satu
negara terburuk bagi
startup untuk urusan birokrasi. Situs Startups.co.uk mengartikan
birokrasi sebagai kode etik, hukum dan peraturan yang dibuat saat memulai
bisnis baru. The
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)mengatakan
rata-rata dibutuhkan lima hari dan lima prosedur untuk membangun entitas
korporasi di negara seperti AS. Sedangkan di Indonesia membutuhkan sembilan
prosedur dan 47 hari.
Survey yang dilaksanakan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC)memberi peringkat pada 12 negara utama dari
skala 1 hingga 10, dengan 10 sebagai nilai terburuk dalam kesulitan prosedural
yang dialami investor asing. Indonesia berada di posisi terendah kedua dengan
nilai 8,59, di atas India di posisi terakhir dengan 9,41. Indonesia dikalahkan
negara berkembang lainnya seperti Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan Thailand
(5,53).
3. Target konsumen yang sulit diraih
Indonesia, negara dengan penduduk
terbesar keempat di dunia, merupakan posisi kelima dari pasar e-commerce di
Asia berdasarkan penjualan. Pengguna internet di negara ini tumbuh menjadi 74,6
juta di tahun lalu dan seharusnya dapat tumbuh dua kali lipat menjadi 125 juta
di tahun 2017. Namun jangan cepat tergiur untuk berinvestasi. Coba cermati hal
ini terlebih dahulu:
Perusahaan riset pasar lokal Markplus Insight mengatakan bahwa kurang dari separuh pengguna
internet di Indonesia menghabiskan tiga jam atau lebih untuk online dalam
sehari, dengan kata lain cukup untuk menempatkan mereka dalam kategori
‘netizen’ yang tidak resmi (netizen adalah sebutan bagi mereka yang sangat
gemar online dan membentuk kelompok online shopper). Terlebih, jumlah pengguna
internet rumahan sangat rendah karena jaringan internet kabel untuk rumah cukup
lambat dan cenderung mahal di tanah air. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor
terbatasnya pembelian online di masyarakat, berhubung kebanyakan orang masih
mengakses internet dari kantor dibanding dari rumah.
4. Logistik untuk e-commerce tidak dapat diandalkan
Hambatan lebih lanjut dalam ranah
ecommerce di Indonesia, MarkPlus
Insight menambahkan, ialah konsumen mengalami kesulitan membayar barang pesanan dan
mendapatkan jasa pengiriman. Buruknya infrastruktur di Indonesia menjadi salah
satu alasan e-commerce disini memiliki potensi besar, karena banyak warga
perkotaan tetap dapat berbelanja di area yang terkena macet. Namun jalanan yang
buruk dan alamat tidak lengkap juga menjadi tantangan untuk proses pengiriman
barang. Pembayaran turut menjadi masalah lainnya. Banyak pelaku retail online
membutuhkan transfer melalui ATM sebelum barang dapat diantarkan. Persoalan ini
membuat belanja online hanya “sedikit” lebih nyaman dibandingkan membeli di
toko secara tradisional.
5. Konsumen yang ikut-ikutan
Investor yang ingin membawa
inovasi paling mutakhir dari Silicon Valley ke Jakarta mungkin butuh untuk
berpikir ulang. Studi menunjukkan konsumen di Indonesia lebih tertarik pada
produk dan jasa yang sudah memiliki nama besar di pasar. Hal ini juga
menempatkan banyak konsumen Indonesia dikategorikan sebagai ”late
adopters”, yang berarti belum yakin terhadap merk baru dan belum
terkenal.
Firma konsultasi manajemen global McKinsey & Companymengungkapkan,
“Warga perkotaan Indonesia di kelas yang konsumtif naik sebanyak lima juta
orang setiap tahunnya, dan akan mencapai 86 juta di 2020. Golongan ini
berorientasi pada keluarga, tidak suka resiko, dan setia terhadap merk,
khususnya merk-merk lokal (walau yang dimaksud “lokal” itu hanya berdasarkan
persepsi saja).”
Sumber : https://id.techinasia.com/5-masalah-pebisnis-teknologi-indonesia/
No comments:
Post a Comment